12 Juni 2009

TAMBO MINANGKABAU

Sebagian isi dari tulisan ini dikutip dari buku Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau yang ditulis oleh B. Datuak Nagari Basa (1962) beserta kutipan dari tulisan-tulisan dan cerita para orang tua

Tambo Minang yang asli, pada zaman kolonial Belanda, dipinjam dan tidak dikembalikan kepada pemilik asli (para Tuan Laras). Menurut tambo yang asli, tanah air kita ini dulunya semua kepulauan di Nusantara tidak terpisah-pisah seperti sekarang ini, melainkan menyatu dengan semananjung Malaysia hingga benua Asia. Terpisahnya menjadi kepulauan Nusantara seperti sekarang ini diakibatkan oleh banjir besar Nabi Nuh, AS. Tanah yang hancur itu dihanyutkan oleh air yang surut dan terjadilah selat-selat dan laut-laut yang tidak begitu dalam.

Menurut para orang tua yang disampaikan secara turun-temurun, menyebutkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau ini berasal dari Persia (kawasan di Timur Tengah). Penduduk Minangkabau pada dahulunya disebut sebagai bangsa Melayu Minangkabau, bahasa yang dipakai serupa dengan bahasa yang dipakai Melayu Riau dan bangsa-bangsa Melayu lainnya, hanya dialeknya yang berubah. Suku Melayu pada awalnya tidak mempunyai huruf sebagai penyampai informasi sampai masuknya agama Islam. Segala sesuatu yang berupa sejarah, undang-undang, silsilah adat dan yang lainnya disampaikan dalam bentuk menceritakan kepada anak dan kemenakan. Kewajiban bagi seorang ninik mamak (saudara laki-laki dari orang tua perempuan ataupun dari nenek), adalah menceritakan kepada kepada anak kemenakan. Bagi kemenakan, adalah suatu kewajiban pula untuk menerima dan mendengarkan cerita dari ninik mamak tersebut. Sesuai dengan pepatah: “manjawek warih, mandanga tutua” atau menerima warisan, mendengarkan tutur atau ucapan kata.

Penemuan lokasi tinggal yang baru

Banjir besar Nabi Nuh, AS yang baru surut setelah ratusan hingga ribuan tahun mengakibatkan terpusatnya kelompok-kelompok peradaban umat di beberapa tempat di belahan bumi ini. Sementara masih banyak belahan bumi yang belum dihuni oleh umat manusia. Umat manusia yang masih hidup ini adalah pengikut-pengikut setia Nabi Nuh AS beserta ajarannya. Beberapa diantaranya mencoba mencari lokasi tempat tinggal baru yang akan secara turun temurun akan didiami oleh keturunannya hingga saat sekarang ini. Sementara, kepercayaan yang dianut semakin jauh menyimpang dari ajaran asli para Nabi, karena semakin banyaknya dan jauhnya penyebaran umat di beberapa pelosok bumi.

Diantara para petualang pencari lokasi baru tersebut adalah Maharadjo Diradjo yang konon adalah nenek moyang orang Minangkabau. Sewaktu topan surut, Maharadjo Diradjo berlayar, dan menemui gunung berapi telah timbul dan berlabuhlah perahu besar beliau di gunung tersebut. Konon pula, perahu tersebut ditelungkupkan untuk menjadi atap rumah untuk bertempat tinggal. Itu pula sebabnya, hingga sekarang puncak atap rumah orang Minang menganut model “bagonjong” atau bergonjong, lalu disempurnakan keruncingan ujung atapnya meniru tanduk kerbau.

Maharadjo Diradjo yang telah menemukan lokasi hunian yang cocok bersama pengikutnya mulai mengembangkan wilayah dengan jalan merambah hutan-hutan kemudian menjadikan ladang-ladang dan persawahan. Beberapa diantaranya dijadikan pemukiman yang berjarak-jarak sesuai dengan kemampuan anggota keluarga, namun antara satu pihak dengan pihak lainnya tetap memiliki dan menjalin hubungan yang baik, yang dikenal dengan sebutan “taratak”. Orang-orang yang mengerjakan dan mengusahakan tanah-tanah tersebut berbuat menurut dorongan hati masing-masing, tidaklah dipaksa, untuk kepentingan sendiri-sendiri dan tidak dimufakatkan terlebih dahulu. Kebiasaan ini terlaksana terus (menjadi kebiasaan/adat) sampai terbentuk keramaian yang terfokus (koto) dan negeri dalam masyarakat dalam bidang ekonomi.

Melihat perkembangan yang terjadi, timbulah dalam pikiran Maharadjo Diradjo untuk membuat tempat kediaman yang patut sebagai kediaman bagi manusia yang sempurna, berkumpul beberapa “taratak” tadi menjadi rumah-rumah yang berdekatan dengan tatanan aturan yang baik. Setelah disepakati bersama, dimulailah oleh Maharadjo Diradjo mendahului melakukan perambahan pertama menggunakan sebilah pedang panjang miliknya, tempat yang kemudian dikenal sebagai asal dari penduduk asli Minangkabau, yaitu di Pariangan Padang Panjang. Tepatnya lokasi ini berada di kaki Gunung Marapi, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Tanpa diperintah, berdirilah rumah-rumah yang berkelompok serta dilengkapi dengan pagar-pagar yang baik sebagai batas bagi setiap keluarga (kaum) hingga membentuk suatu perkampungan. Beberapa kampung selanjutnya membentuk suatu dusun yang bertumpuk. Dusun-dusun yang telah banyak tersebut menurut kelompoknya kemudian membentuk sebuah koto. Koto mempunyai kesepakatan (sekata/”sakato”) dalam menghadapi bahaya dan lain-lainnya menurut perkembangan masa, dan perkembangan itu pula yang menjadi sebuah “negeri”.

Penyebaran penduduk asli Minangkabau dan terbentuknya Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh

Setelah terjadi perkembangan jumlah penduduk yang kian pesat, penduduk mulai melakukan perpindahan-perpindahan. Pola perpindahan yang dilakukan adalah perpindahan yang terus-menerus. Maksudnya, apabila suatu keluarga atau kaum melakukan perpindahan ke lokasi tertentu, kemudian setelah mempunyai keturunan yang baru, mereka melakukan perpindahan berikutnya ke tempat lain yang lebih jauh lagi. Dimulai dari lokasi tempat tinggal asal yaitu Pariangan Padang Panjang, sebagian dari satu kaum pindah ke Tanah Datar, dan setelah berkembang di Tanah Datar, sebagiannya pindah ke Agam. Setelah berkembang pula di Agam, sebagiannya pindah lagi ke Limapuluh Kota. Karena Limapuluh Kota cukup jauh dari lokasi asal yaitu Pariangan Padang Panjang, masyarakat Minang yang mendiami lokasi ini kesulitan dalam berkomunikasi dengan tempat asalnya. Tetapi hubungan kekerabatan tetap mereka jalin, walaupun tidak hapal lagi silsilah atau garis keturunan antara orang tua-orang tua mereka yang masih bersaudara.

Dimasa pemerintahan Datuk/Sutan Maharadjo Basa, penduduk dari Pariangan dan Padang Panjang menyebar ke bidang-bidang datar di kaki Gunung Marapi sebelah Selatan sampai di bidang datar di kaki Gunung Sago bagian Selatan dan Timur. Selanjutnya pindah ke beberapa nagari seperti Sungai Tarab, Sumanik, Saruaso, Padang Gantiang, terus sampai ke Buo dan Sumpur Kudus. Pemindahan-pemindahan ini mengakibatkan berkurangnya penduduk di Pariangan. Istilah pengurangan atau berkurang dan berpindah ke luar ini kemudian dalam istilah Minangkabau disebut dengan “Luak” atau “Luhak”. Dari segi awal bahasanya lebih mirip “Lua” atau “Luar”. Penduduk dipindahkan dari Pariangan, atau penduduk Pariangan yang dikurangkan dan ditempatkan dibidang-bidang datar, maka lokasi tempat tinggal baru tersebut dinamakan Luhak Tanah Datar.

Perkembangan populasi penduduk yang semakin pesat di Luhak Tanah Datar, maka timbul kembali keinginan dari penguasa waktu itu yaitu Sutan Maharadjo Basa untuk memindahkan kembali penduduknya ke tempat lain. Tujuannya adalah agar orang-orang serta para keturunannya dapat membangun nagari yang baru. Sebelum dilakukan pemindahan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan langsung ke lokasi yang akan ditempati nantinya.

Setelah memenuhi syarat untuk ditempati, maka disetujuilah lokasi baru yaitu di sebelah Timur dan Barat Gunung Marapi dan Barat Gunung Sago. Untuk itu ditunjuklah 4 (empat kaum) pergi merambah serta membabati hutan untuk tempat kediaman, untuk peladangan dan perkebunan. Empat rombongan pertama sampai di bagian bawah dataran yang rendah di kaki Gunung Merapi serta di sebelah Utara gunung tersebut. Rombongan tersebut juga mendapati sebuah lembah dan sungai yang jernih airnya, serta hulu sungai yang bercabang dua menuju muara. Lembah itu diberi nama Agam dan sungai yang mengalir melalui lembah arah ke hulu diberi nama Batang Tambuo dan Sungai Janiah atau Sungai Jernih. Sementara sungai yang mengalir menuju muara/hilir diberi nama Batang Agam.

Kemudian menyusullah rombongan kedua ke tempat rombongan pertama tadi sebanyak empat keluarga/kaum. Disusul rombongan ketiga dan keempat menuju rombongan pertama berada. Jumlah rombongan yang berpindah adalah empat kali pemberangkatan. Setiap pemberangkatan berjumlah masing-masingnya empat keluarga/kaum. Total keseluruhan rombongan adalah 16 (enam belas kaum).

Kaum yang pertama datang ke Lubuk Agam terus berangkat mencari lokasi-lokasi baru untuk ditempati dan diolah. Mereka menyebar di kaki Gunung Merapi dan membuat nagari dan koto. Nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan pertama tersebut adalah Agam Biaro, Balaigurah, Lambah, Panampuang dan sekitarnya hingga sampai ke Canduang dan Lasi. Nagari/negeri tersebut adalah negeri rombongan pertama yang berangkat, kemudian sampai sekarang lebih dikenal dengan Nagari Ampek Angkek atau Negeri Empat Angkat.

Kaum yang kedua mendiami daerah di sekeliling bukit yang agak tinggi dan mendirikan nagari sebanyak empat sama seperti rombongan pertama. Nagari-nagari yang mereka dirikan adalah Kurai, Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Karena sifat pemindahan penduduk adalah yang pertama yang merintis, kemudian setelah rombongan berikutnya yang meneruskan dan mendiami, rombongan pertama mencari yang lebih jauh. Maka nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan kedua ini dapat dikatakan adalah masuk dalam nagari ampek angkek atau negeri empat angkat juga.

Rombongan atau kaum ketiga menduduki bagian yang tertinggi dari kaki Gunung Marapi, bahkan hingga pinggang gunung sebelah barat. Mereka kemudian membuat empat nagari yaitu Sarik, Sungaipuar, Batagak dan Batupelano. Sama seperti nagari yang didirikan oleh rombongan kedua di atas, maka nagari-nagari ini adalah termasuk dalam Ampek Angkek atau Empat Angkat juga. Pemberangkatan terakhir mendiami kaki Gunung Singgalang. Rombongan ini mendirikan pula empat negeri yang diberi nama Guguk, Tabeksarojo, Balingka dan Pambatan. Dari semua nagari-nagari yang didirikan tersebut, yang masih bernama Nagari Ampek Angkek adalah nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan pertama, yaitu Agam Biaro, Balaigurah, Lambah, Panampuang, Canduang dan Lasi. Lokasi-lokasi baru yang ditempati dan didirikan menjadi nagari-nagari oleh empat rombongan pemberangkatan ini kemudian diberi nama Luhak Agam.

Selanjutnya, lokasi-lokasi baru yang menjadi perhatian para pemimpin Minangkabau waktu itu adalah lereng-lereng di Gunung Sago sebelah Utara sampai ke Timur. Tanah dataran yang luas, lembah yang sangat lebar di sepanjang sungai Lampasi, Batang Sinamar dan Batang Agam, kosong belum ada penghuni. Kaum-kaum yang akan menghuni lokasi baru tersebut diambil dari anggota kaum yang telah mendiami nagari-nagari di Luhak Tanah Datar. Kaum-kaum tersebut dibagi, ada yang berangkat, ada yang tinggal. Lalu berangkatlah 50 (lima puluh) keluarga menuju kaki antara kedua gunung yaitu Gunung Sago dan Gunung Marapi. Mereka menempuh perjalanan siang malam menyeberangi Batang Agam. Dalam perjalanan, saat istirahat di pinggiran Batang Agam, dilakukan penghitungan jumlah rombongan, namun jumlah yang istirahat tidak lagi sama dengan jumlah rombongan saat akan berangkat. Terjadi perdebatan, bahwa jumlah yang kurang adalah sebanyak lima kaum, sebagian lagi ada yang mengatakan hanya sebanyak dua kaum. Pihak yang mengatakan hilangnya sebanyak dua kaum, menerangkan bahwa rombongan yang hilang tersebut dipimpin oleh Datuk Mareko Panjang Jangguik, mereka meneruskan perjalanan ke Kampar Kiri. Mereka mendirikan korong kampung serta koto dan nagari di sepanjang sungai Kampar Kiri. Satu rombongan lagi yang hilang adalah rombongan yang dipimpin oleh Datuk Mareko Putih Gigi. Rombongan ini menyusuri sungai Kampar Kanan hingga ke hilir. Di sepanjang sungai tersebut mereka kemudian beranak pinak. Lokasi baru yang ditempati rombongan yang berangkat dari Luhak Tanah Datar ini kemudian diberi nama Luhak Limapuluh Koto.

Aturan ahli waris dalam adat Minangkabau

Bagaimana seandainya suatu kekerabatan dalam kaum yang saling berjauhan, tidak lagi memiliki keturunan lagi?

Sesuai dengan ungkapan pepatah: “panjang nan bakaratan, laweh nan basibiran”. Panjang nan bakaratan atau panjang yang berkarat artinya, semakin panjang garis keturunan, semakin berkarat atau tidak berkilat/jelas lagi antara satu sama lainnya. Laweh nan basibiran atau luas yang berada di pinggir, artinya semakin luas atau jauh lokasi tempat tinggal, semakin jauh dari pusat atau tempat asal yang asli.

Menurut adat Minangkabau, jika seandainya putus ahli waris pada tempat yang lebih jauh, maka kerabat tempat asal akan mewarisi harta dan pangkatnya, dengan syarat harus ditunggui atau mendiami lokasi tinggal kerabat yang hamper/telah punah. Maksudnya, apabila tidak ada yang menjadi ahli waris dalam suatu kaum di Minang, maka kerabatnya yang lain, walaupun berada di tempat tinggal yang berbeda, akan menjadi ahli waris karena masih satu keturunan sebelumnya. Begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pepatahnya: “Warih bajawek pusako batolong, untuak batariak baban babao, bakeh diuni pusako ditunggui”. Maksudnya, ahli waris bertanggung jawab menyelamatkan warisan atau pusaka, yang bersangkutan atau ahli waris harus mendiami atau menempati warisan atau pusaka yang telah menjadi beban tanggung jawabnya tersebut. Tujuannya adalah supaya lokasi-lokasi yang telah ditemukan serta dijaga dan dipergunakan sebelumnya tidak lepas kepada pihak lain yang bukan dari orang Minang.

Metode/adat waris tersebut diatas dibuat oleh ninik moyang orang Minang yaitu Datuak Tantedjo Garhano. Beliau adalah orang Minang pertama yang mendirikan “Balai Panjang” ruangan dengan tempat duduk yang panjang, beratap tetapi tidak memiliki dinding. Tempat ini digunakan untuk berkumpul dan menerima perintah dari penguasa.. Bahan-bahan asli pembuatan Balai Panjang ini terdiri dari tumpukan batu sebagai alas tempat duduk, bambu sebagai kerangka atap, ijuk sebagai atap dan sebagainya. Tinggi Balai tidak seberapa, karena pengerjaan atap tidak menggunakan tangga seperti yang sering kita gunakan untuk menggapai puncak yang melebihi tinggi badan manusia. Balai Panjang tersebut kemudian diberi nama Balairung Sari, terletak di Kampung Tabek, Limakaum.

Pola pemerintahan pertama Minangkabau

Di Balairungsari ini, Maharadjo Diradjo mengendalikan dan menjalankan pemerintahan atau kekuasaan yang dipegangnya secara mutlak. Kekuasaan penuh dan berdasarkan pertimbangan Maharadjo Diradjo, di dalam tambo Alam Minangkabau disebut dalam pepatah: “undang-undang simumbang jatuah”, maksudnya, undang-undang yang mutlak dipatuhi, karena tak boleh dibanding/diprotes dan tak ada kata ampun, wajib harus dituruti.

Undang-undang tersebut berlaku kepada keturunan Maharadjo Diradjo. Akibatnya, banyak rakyat yang harus menerima hukuman karena perbuatan yang belum tentu salah sama sekali. Hak asasi manusia tidak berlaku sepenuhnya di zaman ini (aturan pertama).

Di bidang ekonomi (aturan kedua atau undang-undang si gamak-gamak), segala lapangan pekerjaan untuk penghidupan dikuasai oleh kecerdasan dan kepandaian serta kemampuan masing-masing. Dimasa ini orang hidup sendiri-sendiri, tak menghiraukan kehidupan orang lain.

Dalam kehidupan sosial (aturan kedua atau si lamo-lamo), penghargaan pada perbuatan baik tidak akan mendapat ungkapan terima kasih, sebab orang yang memiliki sikap yang baik dan terpuji tidak akan berani menghadapi orang yang dianggap terpandang, karena yang menyandang status terpandang akan dianggap sebagai orang yang berani, sedangkan orang yang tidak terpandang di tengah masyarakat akan merasa jadi penakut.

Setelah wafatnya Maharadjo Diradjo, pemerintahan dilanjutkan oleh keturunannya yaitu Suri Diradjo. Beliau melakukan perubahan aturan, sesuai dengan ungkapan pepatah; “sakali gadang balega, sakali adat barubah”. Maksudnya, setelah cukup umur dan patut, maka diangkat atau diresmikan, kemudian sekalian dengan adanya perubahan adat atau aturan.

Undang-undang Tarik Balas

Setelah kekuasaan dipegang oleh Datuak Suridiradjo, undang-undang yang diterapkan adalah undang-undang Tarik Balas yang bertujuan agar sesuatu kejahatan atau kesalahan seseorang akan mendapat balasan setara atau setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya. Jika seseorang membunuh, maka hukuman yang pantas diterimanya adalah dibunuh juga. Dalam urusan utang piutang, apa yang dipinjam harus sesuai bentuk pengembalian sama seperti barang atau materi yang dipinjam, tidak boleh diganti dengan bentuk lain. Sesuai dengan pepatah: “utang ameh baia jo ameh, utang nyao baia jo nyao, utang padi baia jo padi, utang kato baia jo kato” atau utang emas bayar dengan emas, utang nyawa bayar dengan nyawa, utang padi bayar dengan padi, utang kata bayar dengan kata. Perubahan undang-undang ini membawa perubahan dalam masyarakat. Sebelumnya, undang-undang yang dipakai tidak kenal kata ampun dan kasihan.

Undang-undang Tarik Balas diterima dengan baik oleh masyarakat pada waktu itu. Undang-undang terus dilanjutkan oleh keturunan Datuk Suridiradjo yaitu oleh Datuk Seri Mahardjo nan Banego-nego, kemudian oleh anaknya Datuk Maharadjo Basa. Undang-undang tersebut berjalan lancar karena masyarakat boleh mempertahankan kebenaran sebagai hak asasinya sebagai manusia. Adik Datuk/Sutan Maharadjo Basa, yaitu Sutan Balun selalu ikut mendampingi sang kakak sambil memperhatikan dengan cermat setiap jalannya perkara. Sekali-sekali Sutan Balun menyumbangkan buah pikirannya, dan kemudian diangkat sebagai penasehat Sutan Maharadjo Basa. Baik rakyat dan Sutan Maharadjo Basa sangat mengagumi adiknya Sutan Balun yang memiliki kecerdasan dan ide-ide yang cemerlang dalam menghadapi suatu masalah.

Walaupun Sutan Balun telah ikut berperan serta dalam membantu Sutan Maharadjo Basa dan terbukti sangat dikagumi, namun Sutan Balun masih melihat dan menilai bahwa undang-undang Tarik Balas belum memberikan kepuasan bagi rakyat. Penerapan undang-undang Tarik Balas yang menyelesaikan satu perkara, tetapi menimbulkan perkara baru, karena dalam menjatuhkan hukuman, harus dibuat perlakuan yang sama bagi terhukum. Misalnya, menghukum mati seorang pembunuh, maka yang melaksakan eksekusi hukuman sama saja telah melakukan pembunuhan juga. Akibat dari hukuman ini akan menimbulkan rasa luka bagi keluarga pembunuh yang dihukum mati. Sungguh pun demikian, karena sifat bijaksana Sutan Balun yang diwarisi dari ayahnya Catri Bilangpandai, tidak membuat Sutan Balun gegabah untuk langsung menyampaikan keluhannya kepada kakak lain ayahnya, Sutan Maharadjo Basa.

Budi Curiga (Paham Bodi Chaniago)

Sutan Balun semakin mencemaskan masa depan masyarakat Minangkabau sebagai akibat dari pelaksanaan undang-undang Tarik Balas. Kecemasan dan kecurigaan yang timbul pada diri Sutan Balun karena kedekatan beliau dengan masyarakat lebih kental dibandingkan kakaknya Sutan Maharadjo Basa. Kecurigaan atau rasa prasangka akan apa yang timbul dimasa datang adalah karena kesucian cahaya hati yang memancar dan menerangi pikirannya. Karena kuatnya desakan untuk melakukan perubahan demi kebaikan masyarakatnya dimasa akan datang, Sutan Balun kemudian membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan kebenaran itu kepada Sutan Maharadjo Basa.

Setelah berpikir sedalam-dalamnya dan pada waktu yang tepat nantinya, Sutan Balun sangat berharap beliau berdua dengan kakaknya Sutan Maharadjo Basa dapat membicarakan hal tersebut dengan hati dan jiwa yang tenang.

Saat Sutan Balun sudah menemukan waktu yang tepat untuk menyampaikan isi hatinya, Sutan Maharadjo Basa merasa kagum dan di dalam hati mengakui kecerdasan dan kebenaran yang ada pada diri Sutan Balun. Tetapi tidak serta merta Sutan Maharadjo Basa langsung menerima pendapat yang disampaikan oleh Sutan Balun. Sutan Maharadjo Basa yang sangat cermat dan teliti dan bertindak, kemudian menjawab usulan Sutan Balun dengan berjanji akan mempertimbangkan dan memikirkan lebih dahulu sedalam-dalamnya. Walaupun begitu, Sutan Balun sudah merasa sangat senang dan bahagia hatinya karena usulannya akan menjadi pemikiran oleh Sutan Maharadjo Basa.

Menjelang ditepatinya janji oleh Sutan Maharadjo Basa, Sutan Basa tak henti-henti berupaya agar pendapatnya itu tidak kandas begitu saja. Terlebih lagi pendapatnya itu telah dipikirkan sedalam-dalamnya dan tujuannya adalah demi kebaikan masyarakat banyak. Di mata masyarakat, baik Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun adalah sama-sama pemimpin mereka. Sutan Maharadjo Basa adalah pemegang tampuk kekuasaan yang sangat ditakuti oleh rakyat, tetapi segala keputusan yang berlaku adalah berdasarkan pertimbangan dan pendapat dari Sutan Balun. Semua yang terlaksana adalah berkat kecerdasan, buah pikiran dan kecintaan Sutan Balun pada masyarakatnya.

Setelah menunggu selama lebih dari dua minggu, Sutan Balun menuntut jawaban yang dijanjikan oleh Sutan Maharadjo Basa, namun Sutan Maharadjo Basa memberi jawaban bahwa pendapat tersebut belum selesai dipikirkan sedalam-dalamnya. Termasuk seperti apa kira-kira cara, bentuk dan undang-undang penggantinya. Perlu dirumuskan terlebih dahulu semasak-masaknya undang-undang baru yang akan dilaksanakan, barulah usulan tersebut dapat diterima dan undang-undang lama bisa dibatalkan. Sutan Maharadjo Basa kembali menangguhkan dan akan memikirkan semasak-masaknya.

Menerima jawaban dari Sutan Maharadjo Basa, Sutan Balun membalas dengan tekad yang kuat bahwa dia akan tetap memperjuangkan pendapatnya hingga cita-citanya menjadi kenyataan. Menanggapi kenyataan yang terjadi, maka timbullah perasaan yang bukan-bukan pada diri Sutan Maharadjo Basa. Menurut dugaannya, jika pendapat Sutan Balun diterima oleh masyarakat, maka pandangan dan penilaian rakyat akan lebih pada diri Sutan Balun, sementara dia sebagai raja akan direndahkan oleh rakyat. Bisa-bisa kekuasaanya akan berpindah ke tangan Sutan Balun, padahal Sutan Balun tidak berhak menjadi raja, karena Sutan Balun adalah anak Catri Bilangpandai bukan anak dari Datuk Seri Maharadjo Diradjo Nan Banego-nego ayah kandung Sutan Maharadjo Basa yang menjadi raja sebelumnya. Di zaman itu, Minangkabau masih menganut garis keturunan Patriakhat yaitu kekuasaan atau warisan yang turun dari ayah kepada anaknya.

Janji dari Sutan Maharadjo Basa kembali didiamkan sampai beberapa waktu yang cukup lama, dan tak pernah disinggung kembali. Kondisi yang demikian menimbulkan keinginan yang kuat pada diri Sutan Balun untuk menuntut kembali jawaban yang dijanjikan. Pada waktu penyampaian kembali, Sutan Balun tak lagi bisa menyembunyikan perasaannya. Sutan Balun secara tegas meminta kejelasan dari Sutan Maharadjo Basa, apa alasan raja menolak usulannya. Karena desakan yang keras dari Sutan Balun, maka Sutan Maharadjo Basa menegaskan bahwa undang-undang Tarik Balas tidak bisa diubah oleh siapa pun juga, karena sudah turun-temurun dari nenek moyang. Sutan Balun menyampaikan bahwa dia mengusulkan perubahan bukan untuk mencari-cari simpati dari masyarakat, tetapi adalah untuk membela keselamatan rakyat, dan tidak ada pula bermaksud menjatuhkan kekuasaan kakaknya. Sutan Balun mengatakan bahwa kakaknya telah salah dalam berpikir, namun Sutan Maharadjo Basa menjawab bahwa Sutan Balun tidak berhak ikut campur dalam urusan kerajaan, karena ayah Sutan Balun bukanlah seorang raja sebelumnya.

Sutan Balun tidak menjawab sepatah kata pun, karena hati dan perasaannya merasa sangat sakit karena ucapan terakhir dari sang raja. Sutan Balun yang mempunyai sifat yang budiman dan penyabar, sangat pandai menahan hati, sehingga tak tampak sama sekali kekecewaan dan sakit hati yang dirasakannya. Sehabis ucapan terakhir dari sang raja, keduanya hanya bisa diam dan bermenung. Setelah sekian lama diam dan bermenung, Sutan Balun berdiri dan terus berjalan tanpa pamit sepatah kata pun. Sutan Balun menuju keramaian untuk menenangkan pikiran tanpa menceritakan kembali kepada siapa pun tentang apa yang telah dialaminya.

Sungguh pun banyak hiburan yang ditemuinya di dalam keramaian, tidak bisa untuk mehilangkan kegelisahan dan rasa hatinya yang telah hancur. Adapun yang dilakukan oleh Sutan Maharadjo Basa juga diam tidak pernah menegur sapa Sutan Balun, tentunya keadaan ini makin memperparah keadaan yang dialami oleh Sutan Balun. Ayah Sutan Balun yang sangat hapal dengan sikap dan tingkah laku Sutan Balun, tentunya merasa heran melihat perubahan yang dialami putranya. Sutan Balun yang sudah bertekad untuk memperjuangkan sendiri cita-citanya, tidak mau mengungkapkan isi hatinya pada Catri Bilangpandai, walaupun sudah dibujuk dengan segala cara. Namun, Catri Bilangpandai karena adalah orang yang sangat bijaksana, akhirnya Sutan Balun menceritakan semua yang telah terjadi antara dirinya dengan Sutan Maharadjo Basa.

Setelah mendengar semua uraian dari Sutan Balun, Catri Bilangpandai juga turut merasa gelisah dan kesal hatinya melihat kondisi hubungan anak kandungnya Sutan Balun dengan Sutan Maharadjo Basa anak tirinya. Karena hubungan darah yang tidak sama itulah, membuat sulit bagi Catri Bilangpandai untuk membantu menyelesaikannya. Kedua pihak yang sama-sama mempertahankan pendiriannya masing-masing, yang berujung merusakkan hati dan keretakkan antara dua bersaudara berlainan ayah. Catri Bilangpandai hanya bisa menyabarkan hati Sutan Balun. Namun Sutan Balun mengemukakan kesedihan hatinya lantaran pembicaraan Sutan Mahardjo Basa. Baginya lebih sakit disinggung oleh kata daripada kena senjata tajam. Segala macam pandangan disampaikan Catri Bilangpandai untuk menenangkan hati Sutan Balun, namun tidak berhasil sama sekali. Pada akhirnya, Sutan Balun meminta izin kepada ayahnya agar dirinya bisa dilepas untuk melakukan perjalanan untuk menenangkan hati dan jiwanya yang gelisah dan menderita siksaan batin yang sangat berat.

Catri Bilangpandai tidak mengizinkan anaknya untuk pergi dengan alasan bahwa ilmu pengetahuan yang akan diberikannya masih banyak lagi, sedangkan yang telah ada pada diri Sutan Balun belumlah mencukupi. Selain itu, Catri Bilangpandai tidak akan merasa tenang hatinya sebelum pertikaian antara kedua anaknya selesai. Jika sengketa ini didiamkan tanpa diselesaikan, akibatnya akan sampai kepada rakyat. Sebab rakyat yang bersimpati kepada Sutan Balun akan gelisah, jika Sutan Balun menyisihkan diri dari Sutan Maharadjo Basa. Akibatnya akan membawa perpecahan anak nagari menjadi dua golongan, yaitu golongan Sutan Maharadjo Basa dan golongan Sutan Balun. Catri Bilangpandai berusaha menahan Sutan Balun untuk tidak berangkat meninggalkan kampung. Tetapi keputusan Sutan Balun sudah tak bisa diubahnya lagi. Catri Bilangpandai dengan terpaksa melepas kepergian Sutan Balun.

Pada saat waktu yang tepat, Sutan Balun berangkat diam-diam setelah jauh-jauh hari meminta izin dan berjabat tangan dengan kedua orang tua dan adiknya. Sutan Balun sama sekali tidak menemui Sutan Maharadjo Basa untuk minta izin atau sekurang-kurangnya memberi tahu niatnya. Sutan Maharadjo Basa insyaf dan sadar bahwa kepergian Sutan Balun bukan hanya karena pendirian dan tujuannya tidak tercapai, tetapi pergi karena hati yang rusak disebabkan kata-kata yang diucapkan kepada adiknya. Sebagai kakak yang sangat menyayangi dan mengagumi adiknya, Sutan Maharadjo Basa merasakan hati yang hancur ditinggalkan adik dalam keadaan tidak berbaik hati. Sutan Maharadjo Basa merasa sangat canggung ditinggalkan Sutan Balun, seperti pepatah: “bak padang ditinggakan angin, bak lauik ditinggakan ombak”. Penyelesalannya semakin hari semakin bertambah apalagi timbul kesulitan-kesulitan dalam urusan nagari dan pemerintahannya.

Tekad untuk yang bulat untuk mengubah undang-undang Tarik Balas yang telah banyak merugikan rakyat menambah pekat darah dalam diri Sutan Balun selama menempuh perjalanan. Dia berjanji tidak akan pulang kampung sebelum sanggup melenyapkan undang-undang yang menjadi sebab perselisihannya dengan Sutan Maharadjo Basa dan membawa dirinya jauh ke rantau. Menurut cerita Tambo Minangkabau, Sutan Balun berangkat dari Pariangan Padang Panjang, lalu ke nagari Lima Kaum dan terus ke Batutaba. Diteruskan berjalan ke Sijunjung, menyusuri ke hilir Batang Kuantan, terus ke Selat Malaka. Dilayarinya Selat Malaka dengan menyinggahi pulau-pulau di Riau sambil menambah pengetahuannya. Selanjutnya terus menuju tanah Semenanjung Malak dan masuk ke Selat Johor. Adapun rute yang ditempuhnya, yaitu tanah Malaya, Pahang, Petani, Negeri Sembilan, Kualalumpur, Kedah, sampai keluar tanah Malaya. Diteruskannya perjalanan ke Siam menuju Bangkok.

Tujuan perjalanannya ke daerah-daerah tersebut adalah semata-mata untuk melihat, memandang, dan mempelajari adat-istiadat serta ilmu pemerintahan negeri yang disinggahinya.

Puas berkeliling di Siam dan Bangkok serta telah cukup mengerti dengan tata cara hukum, Sutan Balun meneruskan perjalanannya menuju negeri China. Dia bermaksud untuk sampai ke Makau dan sekitarnya, karena dimasa itu negeri tersebut telah mempunyai kemajuan dan terkenal kemana-mana.

Pada suatu saat Sutan Balun termenung dan teringat pada nasib diri yang terombang-ambing oleh peruntungan yang membawanya ke perantauan yang jauh. Dalam termenungnya, dia teringat kejadian yang menjadi penyebab terpisahnya diri dari orang tua dan saudara sampai waktu yang cukup lama. Timbullah rasa cinta dan kerinduan pada kampong halaman, tanah tumpah darahnya.

Setelah dirasa cukup pengetahuannya untuk melaksanakan cita-citanya untuk memperbaiki nasib rakyatnya, timbullah keinginan untuk pulang ke kampong halaman. Setelah menimbang semasak-masaknya dan mengukur ilmu pengetahuannya, apakah sudah cukup untuk mencapai tujuan agar tidak ada halangan lagi sama sekali. Menjalani hidup di perantauan selama lebih kurang tiga tahun, sudah cukup rasa dan keyakinannya, disiapkanlah barang-barang yang tidak ada di negerinya untuk dibawa pulang. Selain itu dibawanya seekor anjing kesayangannya yang didapat di negeri Siam. Seekor anjing kumbang (hitam) yang besar, bulunya panjang, serta daun telinga yang terkulai. Anjing tersebut menjadi teman setia dan menjadi pengawal pribadinya selama menjalani masa perantauan. Kesetiaannya yang melebihi keberaniannya menjadi alasan kuat kenapa anjing itu harus dibawa bersama pulang ke Pariangan Padang Panjang.

Pada waktu dan situasi yang baik, berangkatlah Sutan Balun dari tanah China kembali ke tanah airnya, Pulau Andalas. Dalam perjalanan, selalu terbayang olehnya keinginan dan cita-citanya sambil memikirkan bagaimana cara baik untuk melaksanakannya. Akibatnya dia lupa arah perjalanan, laut mana yang sedang diarunginya. Setelah melalui Pulau-pulau Tujuh dan barulah sadar saat telah memasuki perairan Riau. Sampai di salah satu lembah di Batang Hari, ditelusuri sungai tersebut ke arah hulu hingga berlabuh di suatu negeri kecil. Beberapa lama menyusuri pedalaman, maka sampailah Sutan Balun di Pariangan Padang Panjang. Sutan Balun langsung menemui kedua orang tuanya dan menyalami tangan keduanya. Rasa bahagia memenuhi isi rumah menyambut kedatangannya.

Sutan Balun menceritakan kejadian-kejadian yang dialaminya, dimana belum pernah ditemui sebelumnya. Mulai dari suka dukanya di tengah-tengah lautan lepas yang diarungi tanpa pernah dipelajari sebelumnya, tetapi alam sekitarnya telah menjadi guru hingga dia tidak mengalami kesulitan-kesulitan yang berarti. Dari kejadian-kejadian alam yang ditemui, Sutan Balun mendapatkan banyak hikmah dan pengalaman hidup, dan yang paling penting adalah ilmu pengetahuan yang kelak sangat berguna bagi kelangsungan hidup dirinya serta masyarakat banyak. Seperti kejadian matahari yang menyinari bumi, dengan panas teriknya, di tengah laut Sutan Balun melihat kejadian dari langit tidak berawan menjadi berawan dan awan tersebut buyar menurunkan hujan. Hujan turun membasahi bumi mengalir di sungai-sungai membawa hanyut debu, pasir, tanah dan kembali lagi berkumpul di lautan tempat asalnya. Catri Bilangpandai sangat terharu mendengar cerita putranya. Apalagi mendengar ucapan kata-kata falsafah yang halus tetapi sangat dalam pengertiannya yang dikemudian hari akan dilaksanakan oleh Sutan Balun menjadi falsafah Adat Nan Subana Adat.

Orang-orang kampung pun mulai ramai mengunjungi Sutan Balun di rumah ibunya Putri Indahjalih. Tak henti-hentinya tamu yang diterima oleh Sutan Balun, baik dari pihak keluarga, dari korong kampung, serta dari koto dan nagari. Sutan Maharadjo Basa pun tahu orang-orang selalu ramai mengunjungi rumah ibunya, ada keinginan untuk bertamu, namun belum ada kesempatan sama sekali. Sutan Maharadjo Basa berkeinginan bercakap-cakap secara empat mata dengan adiknya Sutan Balun, namun karena masih banyaknya tamu, terpaksa keinginan tersebut diundurnya. Sutan Maharadjo Basa kemudian menugaskan hulubalangnya untuk menemui Sutan Balun dalam rangka menyampaikan keinginan sang raja. Kedatangan hulubalang diterima oleh Sutan Balun, kemudian terbayang olehnya bahwa keretakan yang disebabkan oleh kata-kata sang raja yang menusuk hatinya dahulu telah diinsyafi oleh sang raja. Saat itu timbullah kembali harapan Sutan Balun bahwa cita-citanya akan tercapai dengan jalan baik-baik. Untuk menyisiasatinya, Sutan Balun menanyakan beberapa hal kepada hulubalang tentang keadaan Sutan Maharadjo Basa. Secara tidak sadar, hulubalang telah menguraikan beberapa hal yang disinggung oleh Sutan Balun. Sutan Balun menanyakan keadaan secara perlahan dan sedikit demi sedikit serta pertanyaan yang sifatnya memancing hulubalang untuk menjawabnya. Setelah sekian lama berbicara dan tanya jawab berbagai hal, hulubalang pun pamit. Sutan Balun merasa harap-harap cemas menunggu kedatangan saudaranya Sutan Maharadjo Basa.

Akhirnya, pada keesokan paginya Sutan Maharadjo Basa datang diiringi oleh hulubalangnya. Dengan penuh sukacita Sutan Balun menyambut kedatangannya. Keduanya lalu duduk melakukan ramah tamah dengan penuh rasa persaudaraan. Dalam pertemuan pertama itu, hanya membahas tentang masalah keluarga, tidak ada dibicarakan mengenai kejadian yang pernah membuat pertengkaran diantara mereka. Setelah sekian lama berbincang-bincang, mereka pun makan siang bersama. Selesai makan, Sutan Maharadjo Basa minta izin pamit pulang. Diikuti oleh hulubalang, Sutan Maharadjo Basa turun ke halaman rumah. Sutan Basa mengikuti hingga pintu depan rumah. Saat hulubalang yang berjalan paling terakhir melewati anjing kumbang kesayangan Sutan Balun. Saat itu anjing kumbang sedang asyik berguling-guling di dekat gerbang perkarangan rumah. Sewaktu hulubalang sudah dekat dengan anjing tersebut, dihampirilah anjing itu karena ketertarikannya melihat sang anjing, saat hulubalang hendak memegang tali pengikatnya, si anjing menoleh pada tuannya, Sutan Balun. Sutan Balun memberi sedikit kode, dan karena sudah tiga tahun lebih menemani tuannya dengan setia, si anjing langsung mengerti, si anjing spontan marah terus melompat ke arah hulubalang dan menggigitnya. Sutan Maharadjo Basa terkejut melihat kejadian tersebut. Sebagai tuan rumah dan majikan sang anjing Sutan Balun langsung mengejar dan berusaha melepaskan hulubalang dari terkaman anjing yang sedang marah. Kaki hulubalang mengeluarkan darah karena terluka agak dalam dan merasa sangat kesakitan karena gigitan sang anjing. Darah yang mengalir membasahi celananya, dan menjadi terlihat jelas oleh khalayak ramai yang menyaksikan peristiwa tersebut. Sutan Balun langsung memberikan pertolongan pertama pada hulubalang.

Berita mengenai tergigitnya hulubalang tersiar dengan cepat melalui cerita dari mulut ke mulut. Setelah kejadian itu, orang-orang yang bertamu ke rumah Sutan Balun merasa harus berhati-hati agar tidak digigit oleh sang anjing. Kejadian itu menjadi buah bibir dan pemikiran bagi para cerdik pandai, para hulubalang-hulubalang lainnya, dan ampang lima, karena membahayakan bagi si hulubalang yang terkena gigitan sebagai yang teraniaya. Oleh karena itu, sangat pantas untuk dituntut orang yang memiliki anjing tersebut. Kelanjutan dari permasalahan ini sangat menjadi perhatian orang banyak, karena yang kena gigit adalah hulubalang, sementara yang punya anjing dan patut didakwa adalah orang yang malah sepatutnya memberikan keadilan bagi rakyatnya.

Sutan Maharadjo Basa merasa sangat kesulitan dalam memikirkan keadaan tersebut, akan terasa berat bila diadili, karena demi menjaga hati dan perasaan saudaranya yang baru saja kembali dari perjalanan yang sangat jauh karena kesedihan hati sebelumnya. Jika Sutan Balun dituntut, ada kekwatiran pada diri Sutan Maharadjo Basa, Sutan Balun yang telah rusak hatinya dan mungkin bisa disembuhkan, nanti malah akan bertambah rusak. Jika tidak diperkarakan dan diadili, tentunya tidak akan menyenangkan hati anak negeri dan mungkin akan menghilangkan wibawanya sebagai orang yang berkuasa. Itulah sebabnya Sutan Mahardjo Basa sangat lalai untuk mengusut dan menyelesaikan masalah tersebut. Sementara Sutan Balun juga ikut merasa tidak enak dan gelisah karena belum diusutnya perkara tersebut, bisa-bisa juga rencananya untuk memberikan yang terbaik bagi rakyatnya akan kandas sebelum sempat menyampaikannya.

Sutan Balun kemudian mengemukakan kepada Sutan Maharadjo Basa, bahwa perkara tersebut wajib diselesaikan agar pemerintahan Sutan Maharadjo Basa tidak dipandang jelek oleh rakyatnya. Atas pendapat itulah, Sutan Maharadjo Basa lalu melanjutkan perkara tersebut menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam negeri. Tepat pada hari kelima setelah hulubalang digigit anjing, maka bersidanglah para “manti” serta para pembantu raja dalam persidangan adat yang dilaksanakan diatas “Balairungsari” yang memiliki panjang tujuh belas ruang. Rakyat pun turut menyaksikan proses persidangan, karena yang terlibat dalam perkara adalah Sutan Balun.

Balairongsari dipenuhi oleh peserta rapat yang akan menggelar sidang. Selain itu juga disaksikan oleh para penduduk yang datang dari penjuru Nagari. Persidangan dimulai dengan pemeriksaan terdakwa, yaitu Sutan Balun. Dalam pemeriksaan, Sutan Balun mengakui perbuatan anjingnya yang telah menggigit kaki hulubalang hingga terluka mengeluarkan banyak darah. Sutan Balun juga berpendapat, bahwa siapa yang melakukan harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan patut didakwa. Pada kenyataannya, dalam perkara tersebut tidak ada kesalahan pada pribadi Sutan Balun, karena khalayak ramai menyaksikan bahwa yang melakukan kesalahan adalah seekor anjing. Tetapi yang merumitkan dalam persidangan, kenapa Sutan Balun yang didakwa melakukan kesalahan?.

Sutan Balun merasa keberatan dan menolak kalau dia yang harus bertanggungjawab, karena si anjinglah yang patut didakwa melakukan kesalahan. Sutan Balun berpendapat bahwa dalam menegakkan keadilan harus merujuk pada hukum yang berlaku, dan menurut Hukum Tarik Balas, pelaksanaan hukum atau penjatuhan vonis pada terdakwa harus sama atas perbuatan yang telah dilakukannya pada si korban. Menurut Sutan Balun, ada baiknya pelaksanaan hukuman adalah berdasarkan ilmu dalam menjatuhkan vonis, itulah yang disebut dengan “hukum ilmu”. Peserta dan pendengar sidang di Balairongsari sangat setuju mendengar pendapat dari Sutan Balun. Hakim dan juri dalam persidangan tersebut lalu memutuskan bahwa Hukum Tarik Balas harus tetap dilaksakan.

Keputusan sidang, karena hulubalang digigit oleh anjing, maka balasannya adalah harus menggigit kembali anjing milik Sutan Balun. Namun, keputusan sidang ini malah membuat pikiran baru, karena tidak mungkin orang atau manusia yang mengigit anjing. Disinilah kesempatan bagi Sutan Balun untuk mengemukakan kembali usulannya yang pernah mentah dan tidak diterima oleh Sutan Maharadjo Basa, bahwa “Hukum Tarik Balas” harus diganti, karena pelaksanaan undang-undang dari “Tarik Balas” hanya akan melahirkan konflik baru setelah penjatuhan vonis hukum. Karena menurut hukum “Tarik Balas”, bila seseorang yang telah melakukan kesalahan dan dihukum, maka yang melaksanakan hukuman adalah juga termasuk telah melakukan kesalahan dan harus dihukum juga. Tentunya akan ada rentetan permasalahan baru yang terjadi sebagai akibat dari permasalahan sebelumnya. Sutan Balun mengusulkan pergantian undang-undang Tarik Balas dengan undang-undang yang lebih menguntungkan rakyat banyak.

Sutan Maharadjo Basa yang mendengarkan pendapat dari adiknya Sutan Balun, teringat kembali kejadian yang membuat larinya Sutan Balun dari kampung, meskipun di dalam hati sangat kagum dan menerima kebenaran tersebut. Dulunya Sutan Maharadjo Basa menolak pendapat Sutan Balun karena ada pra sangka yang tidak baik, takut jika kekuasaannya akan diambil alih oleh Sutan Balun. Namun, di tengah keramaian sidang di Balairongsari, Sutan Mahardjo Basa insyaf dan menyetujui usulan adiknya untuk dilaksanakan.

Tuah Sakato (Demokrasi)

Setelah ada kata sepakat dari Sutan Maharadjo Basa, maka undang-undang Tarik Balas dihapus dan akan dibuat undang-undang baru yang lebih menguntungkan rakyat banyak. Rapat pun ditutup untuk sementara waktu menjelang lahirnya undang-undang baru yang dijanjikan oleh para pemuka masyarakat Minangkabau tersebut.

Tiga hari setelah sidang di Balairongsari dilaksanakan, Sutan Maharadjo Basa menemui Sutan Balun untuk menyambung pembicaraan, merancang dan merumuskan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas yang telah dicabut. Sutan Balun menyanggupi maksud dan tujuan kedatangan Sutan Mahardjo Basa, tetapi menginginkan pembicaraan harus dilakukan di tempat khusus, agar segala hal yang dirumuskan tidak diketahui umum sebelum menjadi sebuah keputusan. Sutan Balun mengusulkan agar ruang sidang Balairongsari atau “Balai Panjang” yang berada di nagari Tabek dan berjumlah tujuh belas ruang, pada bagian tengahnya ada sebuah ruangan untuk dipindahkan ke Pariangan.

Sisa ruangan Balairongsari setelah dikurangi adalah sebanyak enam belas ruang, yang terpisah masing-masing delapan ruang kiri dan kanan. Delapan ruang sebelah kanan digunakan untuk tempat rapat umum, tempat berunding untuk menghasilkan pendapat, dimana pendapat yang dihasilkan harus menghindari sistem suara terbanyak. Keputusan yang diambil harus member manfaat bagi rakyat banyak, baik di bidang pemerintahan atau pun bidang-bidang lainnya. Sementara delapan ruang sebelah kiri digunakan untuk menyampaikan keputusan-keputusan yang telah dibuat, serta tempat untk mengatur pelaksanaan undang-undang. Sebuah ruangan yang dipindahkan dari Balairongsari ke Pariangan diberi nama “Balai nan Saruwang. Pada kenyataannya, pemotongan ruangan tidak dilakukan karena hanya merupakan hakikat dari pelaksanaan sistem demokrasi yang diusulkan oleh Sutan Balun. Perbedaannya adalah pelaksanaan usulan Sutan Balun terhadap Balairongsari hanyalah pembongkaran lantai pada sebuah ruangan yang berada tepat di tengah-tengah Balairongsari. Itulah pendapat dari Budi Curiga yang ada pada diri Sutan Balun, serta dengan penuh keyakinan dilaksanakan oleh Sutan Maharadjo Basa.

Setelah pelaksanaan keputusan perombakan sistem musyawarah di Balairongsari, maka Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun melaksanakan perancangan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas di “Balai Saruwang”. Sutan Balun mengemukakan bahwa undang-undang yang bakal dirumuskan harus sesuai dengan kehendak umum dan tidak menyalahi kebenaran, karena yang akan memakai undang-undang adalah rakyat banyak. Setiap rapat yang dilaksanakan harus sesuai dengan pendapat dan keputusan untuk menerimanya harus dengan suara bulat. Suara bulat adalah tidak ada seorang anggota masyarakat pun dengan tanpa unsur paksaan yang menbantah, sehingga dalam tatanan hidup Minangkabau tidak ada yang beroposisi. Walaupun dalam melaksanakan rapat banyak usulan yang disampaikan oleh Sutan Balun, namun Sutan Balun tetap menginginkan agar pemeritahan terus dijalankan oleh Sutan Maharadjo Basa sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam nagari. Sutan Mahardjo Basa kemudian menyerahkan semua pelaksanaan perancangan pembentukan undang-undang kepada Sutan Balun. Catri Bilangpandai sebagai yang tertua dan menjadi penengah musyawarah antara Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun menguatkan semua usulan Sutan Balun serta memberikan catatan penting bahwa segala hasil rancangan undang-undang nantinya tidak ada rasa keberatan dari Sutan Maharadjo Basa, atau kemudian dikenal dengan istilah “Tuah Sakato” yang berlandaskan demokrasi.

Kelarasan dan Tikaman Batu Sebagai Lambang Perdamaian

Setelah Sutan Balun dapat menyelesaikan rancangan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas, maka dilaksanakanlah kembali rapat di Balai nan Saruwang. Sidang yang dihadiri beberapa pemuka masyarakat, dipimpin langsung oleh Sutan Maharadjo Basa. Sebagai pimpinan sidang, beliau meminta peserta sidang untuk mengemukakan pendapat agar dapat menjadi rumusan bersama nantinya. Setelah usulan-usulan diterima, Sutan Maharadjo Basa menyerahkan pimpinan rapat kepada Sutan Balun untuk merancang undang-undang. Disaat serah terima itulah terjadi pelantikan secara resmi. Sebelum memimpin sidang, Sutan Balun melakukan sumpah jabatan. Sutan Balun meminta untuk disediakan sebuah batu yang berukuran besar dengan ketebalan sekitar kurang dari panjang keris, karena bila ditusuk nantinya bisa tembus dari satu sisi ke sisi lainnya. Batu itu akan ditempatkan nantinya di Balairongsari saat undang-undang yang baru telah dinyatakan sah.

Pada saat rapat di Balairongsari dilaksanakan, rapat dihadiri oleh hampir dari seluruh wakil rakyat Minangkabau baik yang berasal dari nagari Pariangan, maupun yang datang dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, maupun dari Luhak Limapuluhkota. Rapat dibuka oleh Sutan Mahardjo Basa, diiringi dengan mengulas kembali aturan pemerintahan yang selama ini telah jalan, yaitu undang-undang Tarik Balas. Namun, dalam perkembanganya, undang-undang Tarik Balas tidak sesuai lagi pelaksanaannya dengan perkembangan waktu dan zaman. Peserta rapat yang hadir sepakat atas uraian Sutan Maharadjo Basa serta keinginan penguasa untuk mengubah undang-undang Tarik Balas. Setelah disepakati, maka diumumkanlah peresmian dan pelantikan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan rapat untuk mengganti undang-undang.

Sutan Balun menyampaikan rasa terima kasihnya karena rakyat sangat menyetujui pengangkatannya sebagai pimpinan rapat. Sutan Balun menyatakan ikrar atau sumpah jabatan dengan perkataan dan perbuatannya. Sutan Balun pun dilantik oleh Catri Bilangpandai. Atas usulan Sutan Balun, Sutan Maharadjo Basa pun dilantik dan diambil sumpahnya oleh Catri Bilangpandai. Maka terbentuk duet pemerintahan, yaitu Sutan Maharadjo Basa sebagai pucuk pimpinan nagari-nagari termasuk luhak-luhak beserta nagari perantauan, dan Sutan Balun sebagai pucuk pimpinan sidang yang akan memikirkan segala sesuatu tentang pembentukan undang-undang dalam pemerintahan serta undang-undang yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Minangkabau.

Dalam proses pengambilan sumpah, Sutan Maharadjo Basa memegang gagang keris, sedikit menarik keluar, lalu dengan cepat dimasukan kembali ke sarangnya sebagai tanda kebesaran kerajaan. Namun berbeda dengan yang dilakukan oleh Sutan Balun, Sutan Balun memegang dengan kuat keris di tangan kanannya, sambil mengucapkan sumpah: “Selama batu ini masih berlubang bekas tikaman keris pustaka ini, yang jernih berpantang keruh, adat lembaga akan dikembang, gantang didirikan akan dilandung isinya, tuah disakato, berpantang luput dari hujan, berpantang lengkang oleh panas”. Selesai mengucapkan sumpah, Sutan Balun menikamkan keris ke batu yang telah disediakan hingga terbenam mata keris dan tembus ke bagian sisi lain dari batu tersebut.

Setelah terbentuk dua jabatan penting dalam unsur pemerintahan Minangkabau, Sutan Balun mengusulkan untuk memberikan nama pada masing-masing jabatan yang diemban oleh Sutan Maharadjo Basa dan Sutan Balun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar